Foto Irvan Hutasoit

Pdt. Dr. Irvan Hutasoit

Teolog • Penulis • Aktivis Sosial • Pendeta

Tentang Saya

Selamat datang di laman pribadi saya. Saya Irvan Hutasoit, seorang teolog dan penulis yang berkomitmen untuk menghadirkan refleksi iman di tengah tantangan zaman modern.Melalui pelayanan dan tulisan, saya berupaya menjembatani pemahaman teologi dengan kehidupan nyata agar iman tidak berhenti pada konsep, melainkan mengalir menjadi tindakan kasih.


Pengalaman Kesederhanaan

Saya dilahirkan di sebuah desa kecil bernama Pakpahan, di Kecamatan Pangaribuan — sebuah tempat di mana embun pagi menetes perlahan di atas dedaunan kopi dan suara ayam jantan menjadi penanda awal kehidupan. Dari rahim seorang ibu yang tabah, Naemsi Pakpahan, saya belajar tentang arti kesetiaan dan ketulusan tanpa syarat. Sementara dari ayahku, Aser Pakpahan, seorang pendidik yang pernah menjadi Kepala Sekolah di SMP Negeri 1 Pangaribuan, aku mewarisi semangat untuk menanam pengetahuan seperti menanam padi: dengan sabar, telaten, penuh harapan, dan tulus.

Ibu mengajarkanku bahwa tangan yang kotor oleh tanah ladang adalah tanda kasih yang paling murni. Dari hari-hari yang ia habiskan di sawah, saya belajar, cinta tidak selalu diucapkan, tetapi dikerjakan — dalam peluh, dalam diam, dan dalam kesetiaan pada hidup yang sederhana. Di sanalah, di antara hamparan hijau dan udara pegunungan yang jernih, saya belajar, akar kehidupan bukanlah tentang di mana seseorang lahir, melainkan dari nilai-nilai yang tumbuh di tanah hatinya.


Dari Kampung Sederhana Hingga Metropolitan

Tahun 1992 menjadi tahun yang menandai sebuah persimpangan dalam perjalanan hidup kami. Saat itu, saya baru saja menamatkan pendidikan di SMP, dan pada waktu yang hampir bersamaan, ayah mengakhiri pengabdiannya sebagai Pegawai Negeri Sipil. Masa pensiunnya bukan sekadar akhir dari sebuah profesi, melainkan awal dari babak baru bagi keluarga kami — sebuah masa untuk menata langkah dengan arah yang berbeda. Dengan doa dan harapan yang sederhana, keluarga memutuskan agar saya melanjutkan sekolah ke Jakarta — kota yang jauh dari heningnya sawah dan sejuknya udara Pangaribuan. Dari 1992 hingga 1995, saya menempuh pendidikan di SMA Katolik Ignatius Slamet Riyadi, Cijantung, Jakarta Timur. Di kota itulah saya belajar menyesuaikan diri dengan ritme kehidupan yang cepat, menghadapi jarak yang memisahkan, dan merawat kenangan kampung halaman di tengah hiruk pikuk ibu kota. Di antara gedung-gedung tinggi dan jalanan yang ramai, saya mulai memahami arti perjuangan: bahwa setiap langkah menuju masa depan selalu berakar dari keberanian untuk meninggalkan kenyamanan masa lalu.

Setelah menamatkan pendidikan di SMA, saya melangkahkan kaki menuju Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta — sebuah ruang di mana pergumulan iman dan pemikiran bertemu dalam dinamika yang hidup. Di sana, perlahan namun pasti, arah dan warna orientasi teologis saya mulai terbentuk. Melalui kelompok-kelompok diskusi lintas kampus, saya menemukan daya tarik pada isu-isu sosial dan politik, terutama pada sisi-sisi kehidupan yang sering diabaikan atau disingkirkan. Sejak itu, saya memandang teologi bukan sekadar wacana tentang yang suci, tetapi juga sebagai suara keberpihakan terhadap yang terasing. Saya percaya bahwa teologi yang sejati harus berani menggugat kemapanan, menyoroti ketidakadilan, dan hadir di ruang-ruang di mana manusia merasa terasing — baik secara sosial, budaya, maupun spiritual. Dari pemahaman inilah saya terdorong untuk aktif dalam gerakan mahasiswa, terutama pada masa-masa penting antara 1998 hingga 2000, ketika suara perubahan menggema di seluruh negeri.

Namun, setiap pilihan memang menuntut konsekuensinya. Keterlibatan saya dalam berbagai aktivitas dan pergulatan intelektual membuat perjalanan studi menjadi lebih panjang dari yang direncanakan — 6,5 tahun, bukan lima tahun seperti seharusnya. Tetapi di dalam jeda itu, saya menemukan ruang refleksi yang berharga. Keterlambatan itu bukan sekadar soal waktu yang tertunda, melainkan proses pematangan — sebuah perjalanan batin untuk memahami bahwa kedewasaan rohani tidak lahir dari kecepatan, melainkan dari kedalaman pengalaman.

Pada akhir tahun 2001, saya menamatkan studi di STT Jakarta dengan membawa keyakinan bahwa teologi bukan hanya untuk dipahami, melainkan untuk dihidupi — menjadi napas dalam pergulatan sosial, politik, dan kemanusiaan. Posisi teologis itu kemudian menemukan bentuk akademisnya melalui skripsi berjudul "Pengampunan dan Rekonsiliasi", yang melakukan eksplorasi mendalam Etika Politik Kristen di tengah gonjang-ganjing peralihan Orde Baru ke Orde Reformasi. Melalui karya itu, saya menegaskan, teologi harus hadir di tengah sejarah, bukan di menara gading; menjadi suara yang menyembuhkan di antara luka bangsa, dan menjadi cahaya kecil di tengah kabut perubahan yang sering kali penuh ketegangan.


Pulang Kembali ke Rahim Iman

Setelah menamatkan studi di STT Jakarta, sebuah babak baru kehidupan pun dimulai — babak yang tidak lagi hanya berbicara tentang pemikiran, tetapi tentang pengabdian nyata. Saya memilih untuk kembali ke rahim gereja yang telah menanamkan benih iman sejak awal, yaitu GKPI. Keputusan itu saya ambil setelah melalui pergumulan batin yang mendalam, hingga akhirnya saya membatalkan rencana melanjutkan studi pascasarjana di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta.

Enam bulan pertama, dari Januari hingga Juni 2002, saya menjalani masa pelayanan sebagai tenaga pelayan sukarela di GKPI Jemaat Khusus Lubuk Pakam Kota. Dengan gaji Rp100.000 per bulan, saya belajar bahwa pelayanan sejati tidak diukur dari besarnya imbalan, melainkan dari ketulusan hati yang mau hadir bagi sesama. Setiap kunjungan, doa, dan perjumpaan dengan jemaat menjadi pelajaran hidup tentang kasih yang bekerja dalam kesederhanaan.

Pada Juni 2002, saya diterima secara resmi sebagai Vikar GKPI dan tetap melayani di GKPI Lubuk Pakam Kota. Di sinilah saya ditempa dalam kehidupan pastoral yang nyata — mendengar pergumulan umat, menyalakan harapan di tengah kepenatan, dan belajar menggembalakan dengan kelembutan. Hingga akhirnya, pada 25 Juni 2004, di GKPI Lima Puluh, saya menerima tahbisan Pendeta. Hari itu menjadi tonggak suci, bukan sekadar pengakuan jabatan, tetapi peneguhan panggilan: bahwa hidup saya sepenuhnya adalah untuk melayani Tuhan dan umat-Nya, dengan hati yang terus belajar, rendah, dan setia.


Berkawan Debu, Berkarib Lumpur, dan Belahan Hati

Pada Oktober 2004, saya menerima penempatan sebagai Pendeta di GKPI Resort Sonomartani, Labuhan Batu. Awal pelayanan di tempat itu bukanlah perjalanan yang mudah. Daerahnya terpencil, dan jalan menuju jemaat rusak berat. Ketika musim kemarau, debu tebal menjadi teman perjalanan yang menutupi pandangan. Namun saat musim hujan, lumpur dan jalan licin berganti peran sebagai sahabat setia yang harus dihadapi dengan kesabaran.

Di tengah segala keterbatasan itu, saya justru menemukan makna terdalam dari panggilan tahbisan. Di Sonomartani, saya belajar bahwa menjadi pendeta bukanlah tentang kenyamanan atau penghargaan, melainkan tentang kesediaan untuk hadir, bahkan ketika jalan menuju pelayanan penuh debu dan lumpur. Di sanalah saya ditempa oleh kesunyian, kesederhanaan, dan ketulusan umat, hingga semakin memahami bahwa panggilan ini bukan untuk diri sendiri, tetapi untuk dunia, demi kemuliaan Tuhan.

Selama lima tahun dua bulan, saya bersahabat dengan situasi yang keras namun penuh kasih itu. Setiap perjalanan pastoral, setiap pertemuan di rumah jemaat yang sederhana, dan setiap ibadah di tengah keterbatasan menjadi saksi bahwa kemuliaan Tuhan sering kali berdiam dalam tempat-tempat yang jauh dari sorotan, tetapi dekat dengan hati yang tulus.

Selama masa pelayanan di GKPI Resort Sonomartani, Tuhan menghadirkan sebuah anugerah yang mengubah arah perjalanan hidup saya. Di tengah ladang pelayanan yang sederhana, saya mempersunting seorang gadis bernama Jusnita Situmorang menjadi istri. Kami telah saling mengenal sejak masa saya menjadi Vikar di GKPI Lubuk Pakam Kota, pertemuan yang awalnya biasa, namun perlahan berakar dalam panggilan yang sama untuk melayani. Dia adalah seorang Guru Sekolah Minggu, sekaligus pengajar Koor Pemuda/i di GKPI Lubuk Pakam Kota.

Jusnita Situmorang adalah Sarjana Pendidikan Jurusan Kimia dari Universitas Negeri Medan (Unimed), dan sebelum menikah, ia mengabdikan diri sebagai guru di SMA Katolik Serdang Murni, Lubuk Pakam. Namun sebelum kami mengikat janji, kami sepakat dalam doa dan pengertian bersama: ia akan meninggalkan profesinya sebagai guru, agar dapat mendampingi saya sepenuhnya di mana pun pelayanan memanggil. Keputusan itu bukan perkara ringan — ada harga yang harus dibayar, baik secara pribadi maupun profesional.

Namun, bagi saya, seorang istri pendeta bukan sekadar ibu di rumah tangga, melainkan juga ibu bagi jemaat yang dilayani. Kehadiran seorang pendeta di tengah umat akan terasa timpang tanpa kehadiran sosok yang menghadirkan kehangatan kasih seorang ibu bagi jemaat. Dalam hal itu, saya melihat pelayanan pendeta sebagai sesuatu yang melampaui profesi; ia menyentuh dimensi kekudusan, karena di balik setiap tahbisan terdapat panggilan untuk menghadirkan kasih Allah yang hidup melalui kehidupan sehari-hari — bersama, dalam suka dan duka, untuk kemuliaan-Nya.

Selama lima tahun dua bulan kami melayani di GKPI Resort Sonomartani, Tuhan belum menganugerahkan kepada kami seorang anak. Masa itu menjadi penantian terpanjang dalam hidup kami — penantian yang hening, penuh doa, dan kadang diwarnai dengan tanya yang hanya bisa dijawab oleh iman. Kami memahami bahwa kehadiran anak dalam keluarga adalah anugerah, bukan hasil usaha semata; ia datang bukan karena kehendak manusia, melainkan karena kasih dan waktu Tuhan sendiri.

Namun dalam setiap malam doa dan setiap ibadah keluarga yang sederhana, kami belajar bahwa pengharapan yang sejati tumbuh dari kesetiaan. Di tengah ladang pelayanan yang jauh dari keramaian, kami terus belajar untuk bersyukur atas setiap hari yang diberikan. Kami menanam kasih, bukan hanya untuk anak yang belum lahir, tetapi untuk jemaat yang sudah Tuhan percayakan. Ketika masa pelayanan kami di GKPI Resort Sonomartani berakhir, kami meninggalkan tempat itu dengan hati yang dipenuhi rasa syukur — bukan karena semua doa telah terjawab, melainkan karena kami telah belajar mengasihi tanpa syarat dan menunggu tanpa kehilangan iman.


Tiang yang Rapuh dan Harapan yang Terjawab

Pada tahun 2009, saya menerima Surat Keputusan dari Pimpinan Sinode GKPI (saat itu masih disebut Pimpinan Pusat) untuk melanjutkan pelayanan di GKPI Jemaat Khusus Saroha, Doloksanggul. Saat itu, saya menyadari, sebuah babak baru pelayanan dimulai — dari melayani dalam lingkup Resort, kini beralih menjadi Jemaat Khusus. Artinya, saya tidak lagi melayani banyak jemaat dalam satu kesatuan, melainkan mencurahkan seluruh tenaga dan hati hanya untuk satu jemaat.

Ketika tiba di GKPI Jemaat Khusus Saroha, saya menjumpai gereja yang masih berdinding papan — bangunan sederhana yang berdiri di atas luka sejarah, karena jemaat ini lahir dari perpecahan GKPI Doloksanggul Kota. Suatu kali, menjelang Natal 2010, saya melihat bagian dalam dinding gereja yang dilapisi tripleks, dan saya terkejut menemukan bahwa tiang-tiang penyangganya sudah lapuk. Jika tidak segera diperbaiki, bangunan itu bisa roboh kapan saja.

Namun, persoalan yang muncul bukan hanya teknis, melainkan teologis dan pastoral. Di satu sisi, gereja perlu rehabilitasi total yang menuntut biaya besar. Di sisi lain, saya tahu bahwa sebagian besar anggota jemaat adalah petani dengan keterbatasan ekonomi. Kami berdiskusi panjang, memikirkan langkah terbaik. Semangat jemaat sempat menyala, lalu meredup kembali ketika sadar bahwa dana yang dibutuhkan tidak sedikit.

Dalam doa dan pergumulan, saya menemukan jawaban sederhana namun dalam maknanya: kekayaan gereja bukan pada uang, melainkan pada persekutuan. Saya berkata kepada jemaat, “Selama doa masih dipanjatkan, nyanyian dikumandangkan, dan firman Tuhan diberitakan, mustahil jemaat ini berkekurangan.” Dari kesadaran itulah kami memulai pembangunan gereja — dengan semangat kebersamaan dan iman yang teguh, bukan dengan modal besar. Selama tiga tahun (2011–2014), gereja itu akhirnya berdiri megah, dua lantai: lantai pertama sebagai fasilitas pembinaan — yang kemudian dikembangkan menjadi unit PAUD oleh penerus saya, Pdt. Dirgos Lumbantobing, dan lantai kedua sebagai ruang ibadah berkapasitas 600 orang.

Ketika saya meninggalkan GKPI Saroha setelah menerima SK mutasi, masih ada hutang Rp80 juta, namun itu hanyalah sisa dari pembangunan senilai Rp1,7 miliar, sebagian besar berasal dari jerih lelah dan persembahan anggota jemaat sendiri. Saya percaya, di balik angka itu ada kisah iman, kerja sama, dan cinta yang tidak ternilai.

Di GKPI Saroha pula, doa dan penantian panjang kami berbuah. Tuhan menganugerahkan dua putra — Rahmat Putra Saroha Hutasoit dan Paskah Aprilio Hutasoit. Mereka lahir di tengah-tengah kesibukan pembangunan gereja, pada masa ketika kami harus mengatur setiap rupiah dengan hati-hati. Meski tunjangan pelayanan dipangkas demi efektivitas anggaran, kebutuhan mereka tak pernah terabaikan. Saya masih ingat, setiap kali menerima gaji dari Kantor Sinode GKPI — yang mulai menerapkan sistem sentralisasi penggajian sejak 2011 — hal pertama yang saya lakukan adalah membeli susu instan untuk mereka.


Laboratorium Teologi dan Pastoral

Pada tahun 2015, saya menutup bab pelayanan di GKPI Saroha. Melalui keputusan Pimpinan Sinode, saya dipindahkan menjadi Pendeta di GKPI Jemaat Khusus Rawamangun, Jakarta. Rasanya seperti melompat dari ibu kota kabupaten ke ibu kota negara — dari kesunyian Doloksanggul ke hiruk-pikuk Jakarta. Namun di balik perubahan besar itu, saya bersyukur: tidak ada persoalan serius yang harus kami hadapi, karena kedua anak kami masih Balita, dan kami sekeluarga dapat memulai lembaran baru pelayanan dengan hati yang tenang.

Ketika pertama kali memasuki gerbang pekarangan GKPI Rawamangun, saya terpaku melihat gedung gereja yang megah dengan halaman parkir yang luas — pemandangan yang jarang dijumpai di tengah padatnya Jakarta. Saat itu, usia saya baru 38 tahun, usia yang masih muda untuk memimpin sebuah jemaat besar dengan dinamika dan kompleksitas pelayanan yang tinggi. Sekejap, keraguan menyelinap dalam hati: "Mampukah saya melayani di tempat sebesar ini?" Namun, seperti panggilan yang selalu datang tanpa menunggu kesiapan, saya tahu, babak baru pelayanan telah dimulai.

Di masa awal pelayanan di Rawamangun, fokus utama kami justru bukan pada gereja, melainkan pada anak pertama kami, yang mengalami speech delay. Selama dua bulan pertama, hampir seluruh perhatian kami tercurah untuk terapi dan pendampingan anak. Dua kali dalam seminggu, kami mengantarnya ke tempat terapi, menyaksikannya dari balik pintu ketika ia berjuang bersama terapis. Kadang, tangisnya mengguncang hati kami, sementara kami hanya bisa meneteskan air mata tanpa boleh masuk ke ruangan. Dua bulan penuh kami jalani dengan kesabaran dan doa, hingga akhirnya ia kami daftarkan di sebuah PAUD, sebagai langkah lanjut dalam proses tumbuh kembangnya.

Pelayanan di GKPI Rawamangun menjadi momentum pembelajaran pastoral yang baru. Jika di jemaat-jemaat sebelumnya pelayanan pastoral banyak berpusat pada pendampingan dan motivasi, maka di sini pastoral bergeser ke arah pengajaran teologis dan reflektif. Saya segera menyadari bahwa jemaat di Rawamangun memiliki akses luas terhadap sumber pengajaran dari berbagai gereja dan media digital, sehingga tantangan pastoral bukan lagi sekadar menguatkan, melainkan menuntun dan meneguhkan iman di tengah pluralitas ajaran. Saya berkesimpulan bahwa pastoral sejati adalah kemampuan teologis seorang pendeta dalam merespons problem spiritualitas jemaat dengan kedalaman iman dan ketajaman refleksi.

Jika di tempat sebelumnya fokus pelayanan saya adalah pembangunan fisik gereja, maka di Rawamangun fokus itu bergeser menjadi pembangunan manusia dan pembinaan iman. Bersama Majelis Jemaat, kami memutuskan untuk memprioritaskan program pembinaan, meski konsekuensinya anggaran gereja terserap cukup besar ke bidang itu. Salah satu program yang tidak lazim di GKPI namun kami jalankan adalah Sermon Pemain Musik dan Pemandu Nyanyian, di mana saya memberikan pengajaran sejarah nyanyian gereja sekaligus penjelasan teologis tentang makna setiap lagu. Saya percaya, musik gereja bukan sekadar iringan ibadah, melainkan sarana pengajaran iman yang hidup.

Pelayanan di Rawamangun juga menjadi ruang belajar manajemen gereja yang sesungguhnya. Saya belajar perencanaan, monitoring, dan evaluasi pelayanan, bahkan mendalami akuntansi gereja nir-laba secara mandiri. Ketika gereja mulai beralih ke sistem digital, saya pun menyesuaikan diri: mengelola program, anggaran, dan data jemaat berbasis teknologi. Proses ini menumbuhkan kebiasaan baru dalam diri saya: tidak ada waktu yang terbuang; setiap waktu adalah kesempatan untuk belajar. Belajar menjadi cara saya menjaga panggilan tetap segar dan relevan. Bagi saya, GKPI Rawamangun adalah Laboratorium Teologi dan Pastoral yang menyadarkan, tahbisan Pendeta adalah proses belajar yang tidak ada hentinya.

Momentum pelayanan di Rawamangun juga membuka kembali impian lama yang sempat tertunda: melanjutkan studi pascasarjana. Setelah menimbang waktu dan tanggung jawab pelayanan, saya tidak jadi melanjutkan ke STF Driyarkara, melainkan memilih STT Cipanas, yang lebih memberi ruang fleksibilitas bagi pelayan aktif. Tahun 2016, saya resmi memulai studi pascasarjana di sana — sebuah langkah kecil yang membawa makna besar dalam perjalanan teologis saya. Pada tahap inilah lahir kebiasaan baru bagi saya. Perjalanan pelayanan harus ditafsir dan dipahami melalui kaidah-kaidah akademis, sebab dengan cara itulah lahir kebiasaan baru, yaitu objektif memahami setiap realitas.

Lima tahun kemudian, pada tahun 2020, tepat satu bulan sebelum pandemi Covid-19, saya menutup pelayanan di GKPI Rawamangun. Keputusan mutasi ke GKPI Resort Saitnihuta, Tarutung, Tapanuli Utara, sempat menimbulkan pertanyaan dari banyak pihak. Dari Jakarta ke Tarutung — dari pusat metropolitan menuju tanah kelahiran gereja — seolah menjadi perjalanan mundur di mata sebagian orang. Namun bagi kami sekeluarga, panggilan tidak diukur oleh lokasi, melainkan oleh kesetiaan.

Saya, istri, dan anak-anak menerima keputusan itu dengan lapang dada. Bagi kami, prinsipnya sederhana: di mana ada GKPI, di sanalah kami melayani. Karena pelayanan bukan soal besar atau kecilnya tempat, melainkan seberapa sungguh kita menghadirkan Tuhan di setiap tempat yang kita pijak.

Video Aktivitas

Kalender & Waktu

📅 Saturday, 25 Oct 2025
🕒 10:12:11

Tautan Aktivitas

Pelayanan Gerejawi Tulisan Teologis Renungan Harian Kontak Saya